Fb. Fx. Handoko Agung S, S.sos

    Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahyo Kumolo mewacanakan peningkatan alokasi anggaran negara bagi parpol sebesar Rp 1 trilyun per tahun. Dana ini bisa lebih kecil, bisa lebih besar tergantung oleh banyak hal. Termasuk kondisi keuangan negara.

    Tujuan pemberian anggaran negara kepada parpol dalam jumlah yang sangat fantastis, didasarkan kepada banyak hal yang selama ini menjadi persoalan bagi parpol. Sampai hari ini parpol sulit mengandalkan iuran anggota, sumbangan individu atau sumber-sumber pemasukan sah lainnya untuk kegiatan-kegiatan yang membutuhkan biaya tinggi. Saat menghadapi agenda politik seperti pileg dan pilkada, misalnya, para pengurus cenderung melakukan berbagai cara untuk pembiayaan sehingga rawan terjadi korupsi. Inilah sebabnya Mendagri berpendapat anggaran besar yang diberikan kepada parpol akan menghindarkan atau mencegah terjadinya praktek-praktek korupsi.
    Meskipun baru sebatas wacana, FITRA dan Centre For Budget Analysis (CBA) menilai parpol tidak layak mendapat kucuran anggaran negara. Bagi FITRA anggaran yang diberikan kepada parpol justru rawan praktek korupsi (SM, 11/3). Bahkan Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi berpendapat, “(Anggaran) Rp 1 triliun ini bisa bukan untuk kepentingan partai atau rakyat. Uang satu triliun bisa jatuh ke tangan pemilik partai,”. Publik harus menolak rencana pemerintah membiayai parpol dari APBN. (Sindonews.com, 9/3).
    Menafikan pembiayaan negara kepada parpol bukan pula pilihan tepat. Sebab senyatanya, untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya non activity electoral negara telah memberikan bantuan keuangan kepada parpol. Bahkan dalam UU Pilkada terbaru, aktivitas parpol dalam penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga dan iklan media massa cetak dan elektronik menjadi tanggungan negara melalui APBN. Dengan demikian, pemberian anggaran negara kepada parpol bukanlah hal yang sama sekali baru dan belum pernah dilakukan negara.

    Tata Kelola Parpol
    Yang harus dilakukan parpol adalah membangun kepercayaan publik. Sebab penolakan publik terhadap wacana Mendagri pada pokoknya berkaitan dengan manajemen pengelolaan parpol, khususnya yang berkaitan dengan transparansi dan akuntabilitas keuangan parpol. Dalam Corruption Perceptions Index (CPI) milik Transparency International Indonesia misalnya disebutkan, bahwa ketidak transparanan pendanaan parpol menjadi salah satu sebab Indonesia ada di peringkat 107 dari 175 negara dalam survey CPI.
    Karena kepercayaan publik adalah keniscayaan, maka yang harus dibenahi oleh parpol adalah membangun tata kelola organisasi yang terbuka, transparan dan akuntabel. Jika mengacu kepada UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), maka tata kelola organisasi yang terbuka, transparan dan akuntabel adalah pada saat sejumlah kewajiban dapat dipenuhi oleh suatu badan publik.
    Sejumlah kewajiban tersebut antara lain memberikan dan/atau menerbitkan informasi publik yang berada dibawah kewenangannya kepada pemohon informasi, menyediakan informasi publik yang akurat, benar dan tidak menyesatkan. Badan publik wajib pula membuat mekanisme penyampaian informasi publik yang mudah diakses publik. Dan informasi publik yang disampaikan kepada publik adalah informasi-informasi terbuka, khususnya informasi yang dikategorikan wajib disediakan dan dimumkan.
    Parpol sudah barang tentu adalah badan publik dalam terminologi UU KIP. Tiga hal utama parpol termasuk kategori badan publik. Pertama, parpol berhubungan langsung dengan penyelenggaraan negara. Sebab sebagai institusi politik, parpollah yang memiliki memiliki legitimasi dalam rekruitmen kepemimpinan di lembaga-lembaga negara baik eksekutif maupun legislative. Kedua, salah satu sumber keuangan parpol bersumber dari APBN/APBD. Ketiga, Pasal 15 UU KIP menetapkan beberapa informasi publik yang wajib disediakan/diumumkan oleh parpol antara

    Share.

    Comments are closed.

    Skip to content